Senin, 17 Oktober 2011

potongan kisah dari ayah yang tececer. lembar 1


Aku tidak pernah memahami ayahku secara keseluruhan.
bagi mataku yang masih seumur jagung,
dia seperti sebuah bangun ruang dengan terlalu banyak sudut tak beraturan.
                            
Di antara jalan setapak hidupnya yang gersang dan berlubang-lubang,
kadang kutemukan sungai kecil dengan air jernih berjeram-jeram.
Di antara tonggak-tonggak jiwanya yang kukuh dan tidak takut,
secara aneh kulihat tanaman merambat meliuk-liuk dengan tetesan embun segar dan bunga-bunga yang wangi.
Di antara sifat arogannya yang meraja lela, terselubung lembut dan menyenangkannya warna vanila langit senja.

Tiba2 ingatanku terpelecat ke suatu siang, ketika seorang keluarga jauh berkunjung ke rumah kami, seperti biasa, bila ada keluarga bertandang beliau pasti bercerita panjang lebar tentang apapun, dengan suara yang sepert orang menantang berkelahi tentu saja.
Dan salah satunya yang seperti ini :

"teman saya dulu jadi 5 besar orang terkaya di kalsel, deretan ruko yang di jalan anu itu punya dia semua… dan dia mulai itu semua dari nol,memang dia diberi tuhan otak dan kemampuan bisnis maka dia melesat. Orang tionghoa dia. Saya udah kenal sejak dia masih jualan rokok di kios kecil. Gak disangka2 , ,deretan rukonya itu kena kebakaran semua. pas ketemu . . ngobrol2 . . dia bilang seperti ini 'yah begini lah pak hanafi , , tuhan kasih ga bilang2 , , dia juga ambil ga bilang2'.Wah kalau ingat omongan dia yang barusan itu saya malu. saya sama dia itu khan sama2 punya agama , , sama2 punya Tuhan , , kok saya sering mengeluh dan marah2 karena sesuatu , ,"

aaahhh , , tapi lagi-lagi , , aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang dunia.

Jumat, 17 september 2010.
sore yang penuh caci maki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar